BAngkiT DAn BAhAgiA


APAKAH YANG SEBETULNYA KITA CARI ?

Setiap orang mencari sesuatu dalam hidupnya, ada yang mencari harta, popularitas, kekuasaan, kepintaran/kepandaian, keluhuran budi, kebijaksanaan dan kemuliaan jiwa, kebebasan mutlak. Bagi mereka yang sedang mencari, apapun itu yang dicari, tidak jarang mereka berani mengorbankan banyak hal bahkan harga dirinya. Bahkan ada yang mengorbankan raganya, tetapi apakah cukup pantas atau sebanding bila harus mengorbankan raga untuk harta benda ? Saya rasa tidak; anda pun tentu setuju. Namun secara sadar ataupun tidak, banyak orang berbuat demikian. Sebenarnya yang mereka cari adalah "kebahagiaan". Di dalam mencari kebahagiaan manusia seringkali irasional, banyak contoh-contoh seperti itu.




Namun apa itu kebahagiaan ?

Bila ditanya demikian kita sering menjawab hidup rukun dan cukup sandang, pangan dan papan. Sebetulnya, yang kita katakan atau difinisikan adalah "kedamaian, ketentraman, keamanan", sebagai kebahagiaan. Dan saya rasa bukan itu jawabnya.

Memang, bila rukun kita damai, tentram, tapi itu bukan kebahagiaan. Bila cukup sandang, pangan, papan kita merasa aman, tapi tidak bahagia. Lebih jauh lagi, ada yang mendifinisikan bahwa kebahagiaan itu adalah diperolehnya apa yang kita cari, atau sepenuhnya segala yang kita "inginkan". Jadi di sini terpenuhinya semua "keinginan" disebut kebahagiaan. Lantas saya balik bertanya, apa itu mungkin ? Mungkinkah kita memenuhi semua keinginan kita yang sedemikian banyaknya ? Berapa kali kelahiran mesti kita jalani untuk memenuhinya ? Semua pertanyaan itu tidak terjawab, bukan ?
Mungkin saja anda bertanya; kalau begitu apakah tidak ada kebahagiaan itu ? Jawaban saya, ada; memang benar-benar ada, di sini dan sekarang ini pula.

DI MANA KEBAHAGIAAN ITU ?

Kebahagiaan nyata ada di sini, tepat di sini dan saat ini pula. Ia berada pada hati kita sendiri. Bila kita merasakan, ia ada, namun bila tidak dirasakan, ia tidak ada. Ia menjadi ada dan juga tidak ada, tergantung kita dapat merasakannya atau tidak ? Bila anda bisa "merasakan puas dan cukup", apapun adanya anda saat ini, anda behagia, sebaliknya anda menderita.

Dan sepertinya kita tidak pernah merasa cukup; tidak pernah puas; itulah sebabnya kita tidak berbahagia. Rasa tidak tercukupi, tidak puas-puas telah menjadikan kita menderita. Mulanya kita ingin anu, bila sudah tercapai, ingin anu lagi, bila tercapai lagi; ingin yang lain lagi dan seterusnya-dan seterusnya. Kita senantiasa mencari dan mencari tak henti-hentinya, mencari ini dan itu terus menerus. Hingga kita menjadi kelelahan sendiri, namun apa yang kita cari atau inginkan bertambah dan bertambah, tak habis-habisnya.

Demikianlah kita, kita "menderita" karena ulah kita sendiri, karena tidak puas-puas, karena serakah. Bila apa yang kita harapkan tidak tercapai, kitapun bersedih. Semua itu terjadi karena kebodohan kita. Bodoh, menginginkan sesuatu yang tak mungkin bisa dicapai. Tidak mungkin dicapai karena memang segala sesuatu itu mengecewakan adanya. Disamping itu, pada hakekatnya segala sesuatu berubah dan berubah terus-menerus; termasuk keinginan kita, itulah yang disebut dengan 'hukum kesementaraan'. Bila segala sesuatu itu berubah dan berubah terus menerus, lantas manakah yang dapat dikatakan kekal abadi ? Apakah kekal abadi itu ada ? Apakah ada yang kekal di dunia ini ? Tentu tidak, ternyata memang tidak ada sesuatupun yang kekal sifatnya, bukan ?

Memahami hal itu kita mestinya sadar, bahwa tidaklah ada sesuatu pun yang dapat membuat kita "bahagia" tanpa kembali "menderita". Sebab yang ada adalah "keinginan" yang tidak habis-habisnya. Keinginan untuk berbahagiapun suatu "keinginan" bukan ? Oleh karena itu saya ajak saudara untuk "berbahagia", saat ini dan detik ini pula, tepat di tempat ini. Mari kita sama-sama berbahagia, berbahagia dengan segala kekurangan dan kelebihan kita; berbahagia dengan 'apa adanya'.
Dengan cara belajar menanggalkan keinginan kita barang sejenak kita dapat menjadi manusia yang "berbahagia". Bila telah dibiasakan untuk meluangkan waktu sedikit demi sedikit menanggalkan keinginan, maka lama-lama akan terbiasa juga. Lama-kelamaan kitapun dapat melonggarkan belenggu keinginan kita, dan menjadi "manusia yang ber-bahagia".

Sebagai ilustrasi betapa mudahnya kita terjebak oleh berbagai iming-iming, berikut ada sebuah cerita yang sekiranya sesuai untuk menggambarkannya.

Yang Mulia Ananda adalah adik sepupu Sang Buddha Gotama. Diceritakan beliau mempunyai tabungan kebajikan yang amat tinggi dari kehidupan beliau yang lampau. Dan hal itu disampaikan oleh Sang Buddha sendiri.
Beliau memang benar-benar Ananda (manusia yang berbahagia), sehingga saking berbahagianya beliau; beliau masih tetap sebagai "Sotapana" (tingkat kesucian batin pertama) hingga Sang Buddha -- Gurunya -- mencapai Parinibbana.

Yang Mulia Ananda, mencapai tingkat "Arahat" (tingkat kesucian batin tertinggi yang mungkin dicapai oleh manusia, menurut ajaran Buddha) setelah Sang Buddha mencapai Parinibbana; oleh karena "asyik dengan kebahagiaan" beliau.

Dari cerita itu, jelas bagi kita bahwasanya kebahagianpun "suatu belenggu", yang merupakan penghalang dalam mencapai tingkat kesucian batin tertinggi. Apalagi "penderitaan" bukan ? Sekarang terserah kita; apakah ingin menjadi "manusia BERBAHAGIA" atau "manusia yang TERBEBAS" dari tumimbal lahir diberbagai alam kehidupan tiada henti-hentinya ?"

Bila boleh memilih keduanya tentu kita memilih ke duannya, bukan ? Ya, demikianlah kita ini; senantiasa takluk dan dijajah oleh LOBHA.
Bila ingin berbahagia, tanggalkan berbagai keinginan rendah yang didasari oleh Lobha itu; kitapun bisa menjadi manusia yang paling bahagia di dunia ini. Bila ingin terbebas dari tumimbal lahir -- diberbagai alam kehidupan tanpa henti-hentinya -- tanggalkan keserakahan serta berbagai keinginan yang tiada habisnya itu.


liAdt LAnjuTAnnYA...

1 komentar:

hAnNa sShI mengatakan...

Alhamdulillah...

akhirnya kotak ini jadi juga...

buat yang mengunjungi blog saiia & membaca

posting saiia janga lupa ya bwad ngasih comment

nya OK!!!

Posting Komentar